Langsung ke konten utama

The Chosen One Hanya Numpang Lewat

thumbnail
Tulisan ini tadinya bermaksud memberikan sedikit ruang untuk David Moyes. Setelah sekian banyak kritik dan sorotan yang diterimanya di luar sana, seharusnya ada sedikit pembelaan.

Tapi, maaf, pandangan paling netral sekalipun bakal sulit untuk membela Moyes. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya keriput di dahi Moyes bertambah, sebanyak itu pula mereka yang mendukung Manchester United menyuarakan keheranan.

Ketika Sir Alex Ferguson menyuarakan keras-keras lewat mikrofonnya bahwa segenap Old Trafford "bertugas" untuk mendukung penuh manajer berikutnya, tidak ada yang akan menyangka United akan terpuruk sedemikian dalam. Tidak ada yang menyangka masa transisi yang disebut-sebut bakal berat itu bakal seberat ini.

Pada musim di mana rival terberat mereka, Liverpool, begitu digdaya, United terbenam justru. Harapan untuk menggenggam trofi di akhir musim satu per satu sirna. United begitu medioker dalam hal performa dan hasil, 11 kekalahan yang biasanya mereka dapat dalam dua musim, kini mereka rangkum dalam satu musim saja.

Sulit untuk tidak mengarahkan lampu sorot kepada Moyes. Mereka yang masih membelanya boleh mengatakan bahwa setiap manajer membutuhkan waktu. Namun, seperti yang dikatakan oleh Jamie Carragher dalam analisisnya, waktu hanya tersedia bagi mereka yang menunjukkan sepercik harapan. Masalahnya, Moyes tidak menunjukkan harapan apa-apa.

Dalam masa jayanya sekalipun, United sudah cukup sering meraih hasil-hasil memalukan. Ambil contoh ketika mereka dihantam Newcastle United 0-5 pada 1996/1997 ataupun dilumat Chelsea dengan skor yang sama pada 1999/2000. Namun, yang membedakan antara United yang dulu dan yang sekarang adalah mereka mampu merespons dengan baik usai meraih hasil buruk. Hasilnya, pada kedua musim di mana dua kekalahan besar itu terjadi, United sukses jadi juara liga.

Ini yang tidak ada dalam United milik Moyes. United yang memang sedang dalam penurunan performa dalam beberapa musim terakhir itu tidak diperbaiki dengan sempurna oleh Moyes. Alih-alih mengangkat dan memperbarui permainan United, Moyes malah kerap memainkan strategicautious, yang bahkan membuat United bermain terlampau berhati-hati ketika menghadapi lawan-lawan semodel West Bromwich Albion.

Memang ada argumen bahwa skuat United yang ada saat ini sudah terlampau usang untuk memainkan taktik dan strategi kekinian. Banyak pemain senior juga mulai turun performanya. Tapi, Moyes juga tidak membantu dirinya sendiri dengan melakukan pembelian yang tepat pada musim panas ataupun mempertahankan segenap staf pelatih untuk membuat masa transisi berjalan mulus.

Ini kemudian diperparah dengan tidak adanya tactical plan yang jelas dari Moyes. Total ada 52 starting line-upberbeda yang ditunjukkan Moyes sepanjang musim ini. Memunculkan argumen bahwa Moyes tidak cukup memahami materi pemain yang dimilikinya sendiri. Dia kerap memaksakan memakai sayap ketika sayap-sayap United berada dalam performa terburuknya. Dia juga ngotot memberikan posisi nomor 10 kepada Wayne Rooney, ketika ada pemain seperti Juan Mata dan Shinji Kagawa yang terbukti lebih fasih memainkan peran tersebut.

Rooney memang bisa memainkan tugas sebagai nomor 10, tetapi acapkali bingung ke mana harus membagi bola. Jika buntu, Rooney kerap mengalirkan bola ke sisi sayap. Alhasil, United pun menuntaskan serangan lewat umpan silang dan (lagi-lagi) permainan mereka dengan mudah terbaca oleh lawan. Laga melawan Newcastle United dan Everton menunjukkan dengan jelas hal ini.

Tanpa Rooney, United memainkan Kagawa dan Mata sebagai bagian dari trio di belakang penyerang tunggal. Hasilnya, pergerakan United begitu cair. Mata yang tadinya dikira bakal mematikan karier Kagawa di United, sebaliknya, justru menghidupkannya kembali. Pergerakan cair di antara para gelandang seperti itulah yang dulu biasa didapatkan Kagawa selama membela Borussia Dortmund.



Sementara pada laga melawan Everton, Rooney tampil relatif buruk. Ditempatkan sebagai penyerang tunggal, dia malah ikut asyik turun membantu mencari bola. Sialnya buat United, itu malah membuat tempo serangan mereka menjadi lambat akibat beberapa keputusan yang diambil Rooney buruk. Rooney memang sempat membuat beberapa peluang tepat di depan gawang, dan ini justru menunjukkan bahwa di sanalah justru posisi terbaik Rooney.

Repotnya, Moyes seperti tampak menganakemaskan Rooney. Apa pun yang diinginkan Rooney, ada kemungkinan bakal dituruti. Rooney bukanlah pemain buruk. Malah, sebaliknya, dia cukup brilian. Hanya saja, Moyes salah dalam melakukan man management terhadapnya.

Kesalahan taktik pada laga melawan Everton masih ditambah dengan fakta bahwa Moyes menurunkan dua gelandang tengah, Michael Carrick dan Darren Fletcher. Namun, alih-alih melapis barisan pertahanan posisi keduanya malah kerap terlalu naik dan meninggalkan jarak besar dengan barisan pertahanan. Bandingkan dengan duet Gareth Barry dan James McCarthy yang begitu ajek berdiri tepat di depan barisan pertahanan Everton. The Toffeespun dengan mudah melakukan serangan balik, terutama melalui sisi kanan yang ditempati oleh Seamus Coleman.

Kemenangan taktik Roberto Martinez dengan Everton-nya itu makin membuat pilu Moyes. Dia tidak dirindukan oleh mantan klubnya dan kekalahan akhir pekan kemarin membuat klubnya saat ini dikabarkan ingin cepat-cepat mendepaknya. Pemecatan kini terlihat seperti sesuatu yang tidak terelakkan lagi.

Entah apa yang ada di benak Moyes sekarang. Mungkin, waktu sedang berjalan lambat di pikirannya dan perlahan-lahan memutar balik ke setahun silam, ketika Sir Alex tanpa tedeng aling-aling menunjuknya sebagai penerusnya. Moyes mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang Sir Alex memutuskan masa depannya dan dia hanya bisa mengangguk.

Tidak ada yang salah, memang, dengan menerima tawaran dari salah satu klub terbesar di Inggris. Manajer mana pun yang membutuhkan batu pijakan untuk naik ke level berikutnya pasti sulit untuk menolak. Mungkin kala itu Moyes punya cukup keyakinan bahwa dia bisa meneruskan jejak kompatriotnya. Tapi, yang terlihat sekarang adalah Moyes masih terpekur pada pertemuan dengan Sir Alex saat itu dan dia tidak tahu apa yang dilakukannya saat ini.

Seorang manajer yang bagus seharusnya tahu apa yang ingin dicapainya dan bagaimana cara mencapainya. Ambil perbandingannya dengan Pep Guardiola. Dia selalu tahu bahwa cara terbaik untuk memperbarui gairah melatih adalah dengan menandatangani kontrak setahun demi setahun. Oleh karenanya, ketika Sandro Rosell --presiden Barcelona ketika Pep jadi pelatih di sana-- bertanya soal kontrak baru dalam sebuah acara makan malam yang santai, Pep tidak menurunkan penjagaannya. Dengan tegas dia menjawab, "Ini bukan saatnya, Tuan."

Pep tahu bahwa untuk bisa sukses bersama Bayern Munich, dia harus fasih meneriakkan instruksi dalam bahasa yang dipahami anak-anak buahnya. Maka, belajarlah dia bahasa Jerman selama setahun. Dalam kelanjutannya, Pep juga tahu sepakbola seperti apa yang diinginkannya dari Bayern. Seperti ketika Johan Cruyff mengalih-posisikan dirinya dari full-back menjadi gelandang bertahan, Pep memindahkan posisi Philipp Lahm ke posisi yang sama.

Dia juga mengubah formasi Bayern menjadi 4-1-4-1. Proses ini tidak berjalan lancar awalnya, para pemain sempat bingung. Namun, seperti yang sudah diucapkan oleh Carragher, waktu layak diberikan kepada mereka yang menunjukkan harapan. Pep, dalam hal ini menunjukkan rencana yang jelas dan oleh karenanya menunjukkan sepercik harapan. Pep pun perlahan-lahan berhasil dan hasilnya bisa dilihat saat ini.

Hal yang sama juga dilakukan Brendan Rodgers di Liverpool. Para petinggi klub bersabar dengannya, meski The Reds finis di urutan ketujuh pada musim lalu. Mereka tahu bahwa performa Liverpool pada paruh kedua musim, seiring masuknya Philippe Coutinho dan Daniel Sturridge, menunjukkan perubahan signifikan. Hasilnya, lagi-lagi, bisa dilihat pada saat ini.

Moyes, bisa jadi, hanya seorang manajer yang numpang lewat dalam catatan sejarah United. Moyes bukanlah messiah, bukan penyelamat. Moyes bukanlah Moyes-siah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barcelona Tekuk Eibar 2-0

Eibar - Barcelona kembali ke jalur kemenangan di La Liga. Blaugrana memetik poin penuh usai menekuk tuan rumah Eibar dengan skor 2-0. Dalam lanjutan La Liga di Ipurua, Eibar, Sabtu (17/2/2018), Barca memimpin 1-0 hingga turun minum. Gol pemecah kebuntuan dicetak Luis Suarez pada menit ke-16. Meski Eibar harus bermain dengan 10 orang usai Fabian Orellana diganjar kartu merah di babak kedua, Barca kesulitan mencetak gol tambahan. Gol kedua mereka baru datang ketika waktu normal tersisa dua menit lewat kaki Jordi Alba. Barca sebelumnya sempat mendapatkan dua hasil seri secara beruntun di La Liga setelah ditahan imbang Espanyol 1-1 dan Getafe 0-0. Berkat kemenangan ini, Barca mengumpulkan 62 poin dari 24 pertandingan dan duduk di puncak klasemen sementara La Liga. Mereka unggul sepuluh poin atas Atletico Madrid yang jadi pesaing terdekat. Eibar menghuni peringkat ketujuh dengan 35 poin. Jalannya Pertandingan Eibar mencoba mengambil inisiatif serangan pada menit-menit awal...

Hasil Liga Spanyol: Suarez Dua Gol, Barcelona Bungkam Eibar 3-0

Barcelona  -  Barcelona  kembali melebarkan jarak di papan atas klasemen Liga Spanyol. Barcelona dapat poin penuh berkat kemenangan 3-0 atas Eibar. Barcelona menjamu Eibar di Camp Nou dalam pertandingan pekan ke-19  Liga Spanyol , Senin (14/1/2019) dini hari WIB. Suarez membuka keunggulan Barcelona pada menit ke-19. Di paruh kedua, Barcelona menambah dua gol. Suarez sekali lagi menjebol gawang Eibar dan Lionel Messi juga tak mau ketinggalan mencatatkan namanya di papan skor. Dengan kemenangan ini, Barcelona kembali menjauh dari Atletico Madrid. Mengumpulkan 43 poin, Barcelona yang ada di puncak klasemen kini unggul lima angka atas Atletico. Sementara Eibar melorot ke peringkat 16 dengan 22 poin. Jalannya Pertandingan Setelah diistirahatkan saat Barcelona kalah dari Levante di Copa del Rey, Lionel Messi dan Luis Suarez kembali masuk ke starting XI Barcelona. Messi kemudian menghasilkan peluang untuk Barcelona pada menit kesembil...

Lorenzo wins as Marquez becomes MotoGP™ World Champion

  Sunday , 10 November 2013 Marc Marquez has finished third in the GP Generali de la Comunitat Valenciana to become the youngest ever MotoGP™ World Champion in his rookie season. The Repsol Honda Team rider, who started from pole position, shared the podium with teammate Dani Pedrosa as race victory went to outgoing title winner Jorge Lorenzo of Yamaha Factory Racing. Having already made himself the youngest premier class race winner and pole-sitter as well as registering numerous other records, Marquez now becomes the youngest ever World Champion and takes the mantle away from Freddie Spencer. At the same time, the 20-year-old from Cervera, Catalunya becomes the first rookie World Champion for 35 years, following in the footsteps of Kenny Roberts from 1978. Lorenzo made his plan clear over the opening laps. Having shot through into the lead, the title winner of 2010 and 2012 attempted to slow the pace as last year’s victor Pedrosa ran second fro...